Oleh Agus Sugiarto
Peneliti Bank Eksekutif, Ketua Tim Arsitektur Perbankan Indonesia, Bank Indonesia
Minggu lalu, BI mencabut izin usaha Bank IFI karena ketidakmampuan bank tersebut membenahi permasalahan yang dihadapi. Penutupan tersebut menimbulkan berbagai komentar maupun kritikan dari masyarakat dan para pakar. Namun, penutupan bank bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Jika kita melihat ke belakang, penutupan bank dalah hal biasa. Seperti korporasi-korporasi lainnya, bank juga bisa bangkrut. Saat krisis moneter 1997, misalnya 16 bank ditutup, diikuti 38 bank pada 1999. Pada tahun 2004, Bank Dagang Bali dan Bank Aspac dilikuidasi. Dan terakhir, Bank Global ditutup pada 2005.
Di Amerika Serikat, puluhan bank ditutup di era 1980-an sebagai dampak merger wave karena tidak mampu lagi bersaing, sementara di Australia, beberapa bank kecil juga ditutup di era 1990-an akibat ketatnya persaingan dengan bank besar.
Kebangkrutan sebuah bank bisa dipicu oleh berbagai faktor, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Bank bisa bangkrut dan harus ditutup kalau kinerjanya buruk akibat naiknya kredit macet, atau aset bermasalah secara signifikan.
Penyebab lain adalah bank tersebut kesulitan likuiditas karena adanya penarikandana secara besar-besaran dalam waktu bersamaan karena terjadinya krisis bersifat sistemik, bank run, maupun ketidakpercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Bisa juga kesulitan likuiditas tersebut akibat mismatch dari struktur pendanaan yang lebih bersifat jangka pendek.
Penyebab lain jatuhnya bank-bank-seperti terjadi pada krisis perbankan periode 1997-1998-adalah banyaknya pemilik bank yang ikut campur tangan dalam operasional bank sehari-hari, pemberian kredit yang tidak hati-hati serta praktek bank dalam bank, sehingga kurang memperhatikan sama sekali aspek manajemen risiko, good governance, dan kehati-hatian.
Jadi, jelas bahwa pemicu bangkrutnya sebuah bank bisa datang dari bank itu sendiri maupun sebagai dampak dari kondisi ekonomi yang memburuk. Untuk itu, kita tidak perlu memberikan reaksi yang berlebihan menyikapi kondisi seperti ini.
Pemilik Tak Seenaknya
Dengan penjelasan di atas, maka kejatuhan sebuah bank bukanlah semata-mata tanggung jawab bank sentral, melainkan pemilik atau pengurusnya. Bank sentral bukanlah nahkoda dari suatu bank. Nahkoda dari bank tersebut adalah pengurus bank itu sendiri, sedang fungsi bank sentral hanya sebagai penunjuk jalan saja, mana yang boleh dilalui dan mana yang tidak boleh dilewati.
Bank sentral berfungsi untuk mengawasi untuk menjaga kepentingan masyarakat dan melindungi para pengguna jasa bank. Kewenangan pemilik maupun pengurus bank tidaklah mutlak karena modal yang disetorkan oleh pemilik rata-rata hanya 20% maksimum dari total dana pihak ketiga yang ada di bank, sedangkan selebihnya yang para deposan yang dititipkan di bank tersebut.
Mengingat pemilik dan pengurus bank mengelola uang masyarakat, maka sudah sewajarnya kalau bank sentral menetapkan aturan yang ketat dengan berbagai macam sanksi kepada bank-bank yang diawasi. Karena itu, pemilik bank jangan terlalu menuntut dan memperlakukan bank seenaknya. Begitu juga pengurus bank, jangan terlalu ceroboh dalam menjalankan kegiatan bank sehari-hari. Prinsip kehati-hatian harus dijaga.
Apa yang Harus Dilakukan
Menutup sebuah bank tentu bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Penutupan sebuah bank itu melalui proses panjang yang melibatkan banyak pihak terkait serta mahal ongkosnya. BI sendiri sering menghadapi suatu pilihan yang sulit sebelum menutup suatu bank. Tapi, hal tersebut harus dilakukan agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi dengan dampak yang lebih besar pula.
Bahwa adanya usulan dari berbagai pihak agar BI mengumumkan saja nama-nama bank bermasalah ke publik, itu juga bukan hal mudah. Dampak pengumuman seperti ini bisa lebih berbahaya, karena bank bermasalah yang sedang dirawat di special surveillance unit (SSU) BI masih jatuh, padahal masih dilakukan proses penyehatan. Tidak selamanya bank yang masuk SSU ternyata mampu disehatkan kembali dan beroperasi normal.
Ke depan, sangatlah sulit untuk mencegah kejatuhan suatu bank mengingat fungsi kontrol dan givernance-nya tidak sepenuhnya di tangan bank sentral. Apa yang bisa kita lakukan adalah meminimalisasi frekuensi kejadiannya dengan berbagai kebijakan, khususnya peningkatan modal minimum. Rasio CAR di atas 8%belumlah mencukupi kalau kegiatan usaha bank sangat kompleks dan berisiko tinggi. Karena itu diperlukanm CAR yang lebih tinggi dari 8% sesuai dengan profil risiko dan risk apetitte dari bank tersebut.
Selain CAR yang cukup, bank, khususnya bank-bank kecil juga perlu melihat kembali modal intinya, apakah sudah di atas Rp 100 miliar atau belum. Tidak ada artinya suatu bank memiliki CAR 30%, tapi modal intinya hanya Rp 80 miliar atau kurang dari itu.
Karena itu, kebijakan konsolidasi perbankan yang dikeluarkan BI sejak 2004 harus dilaksanakan bank-bank kecil yang modalnya pas-pasan. Lebih baik mereka merger dengan bank lain, agaar modalnya lebih besar dan ketahan kelembagaan lebih kuat.
Kebijakan lain yang perlu dipertimbangkan adalah skema premi penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang dibedakan sesuai profil risiko atau kategori bank, seperti halnya di AS. Bank yang berisiko tinggi tentunya membayar premi yang lebih besar dibandingkan dengan bank yang berisiko rendah.
Begitu pula bank-bank yang berkinerja baik dan berisiko rendah sudah sepantasnya mendapatkan reward sesuai upaya mereka. Di samping itu, pemilik dan pengurus bank yang banknya gagal dan terpaksa harus ditutup juga perlu “diistirahatkan” dulu. Mereka tidak boleh menjadi pemilik dan pengurus bank lagi.
Penulis adalah Peneliti Bank Eksekutif, Ketua Tim Arsitektur Perbankan Indonesia, Bank Indonesia.
Catatan: Tulisan merupakan pendapat pribadi
sumber //www.bi.go.id/web/id/
Tags
Artikel Ekonomi