KOMPAS.com - Meski hiruk pikuk kasus Bank Century mulai mereda di media massa, proses pemeriksaan kasus ini masih terus berlangsung. Upaya hukum diarahkan untuk membongkar dan mencari siapa yang bersalah, khususnya di balik aksi penyelamatan Bank Century. Mencari siapa yang bersalah, tentu tidak terlepas dari asumsi adanya kerugian negara yang diakibatkan dari kebijakan tersebut. Namun, masalah tidak berhenti di sana, karena seiring dengan itu, beredar isu tentang teori konspirasi yang mengaitkan dana bail out Bank Century dengan upaya menggalang dana pemilu oleh salah satu partai politik, suap terhadap petinggi Polri, hingga melebar ke isu cicak vs buaya. Isu ekonomi pun bergeser menjadi isu politik.
Dalam film Conspiracy Theory, tokoh Jerry Fletcher yang diperankan oleh Mel Gibson, mengatakan bahwa konspirasi yang baik adalah konspirasi yang tak akan pernah bisa dibuktikan. Pembunuhan JFK atau kasus Watergate, adalah contoh-contoh konspirasi yang sulit dibuktikan. Sampai dengan hari ini, yang muncul adalah berbagai teori maupun spekulasi tentang kejadian itu. Berpuluh buku diterbitkan untuk menganalisis sejarah dan peristiwa kontroversial . Tapi apa yang sebenarnya terjadi, kita tak pernah tahu. Apakah benar ada konspirasi? Kita juga tak pernah tahu.
Di bidang ekonomi politik, kisah-kisah seputar spekulasi konspirasi juga kerap muncul. Ambruknya Lehman Brothers, terungkapnya kasus Madoff, menyisakan berbagai misteri tentang kisah polarisasi ekonomi Yahudi. Di dalam negeri, kasus Bank Bali hingga kasus Bank Century misalnya, adalah berbagai contoh yang mengaitkan bagaimana politik, kekuasaan, dan uang, adalah saudara seiman.
Dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun Rupiah, kekuatan partai dan individu yang mencapai miliaran rupiah, dan mengalirnya dana yang sangat besar, tentu menjadi isu “sexy” yang mengundang tanya. Dari mana dan ke mana dana itu mengalir? Dan apakah dana itu terkait dengan konspirasi?
Pertanyaan itu tentu tak mudah dicari jawabnya. Kitapun kemudian kerap tergiring untuk mendaku fakta spekulatif dalam melakukan tafsir gejala. Akhirnya, tak jarang dari kita yang terjebak ke dalam kusut masai masalah dan keterjebakan epistemik. Sebuah permainan logika yang artinya, kita mengandaikan sesuatu sebagai hal yang nyata. Padahal itu hanyalah asumsi kita akan kenyataan itu. Kita menganggap suatu hal itu terjadi, padahal itu hanya pengandaian kita akan sebuah kejadian.
Isu mengenai konspirasi di balik penyelamatan Bank Century, kalaupun ada, tentu menarik untuk diungkap. Namun dengan berbagai keterbatasan analisis dan data empiris, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dicatat sebelum sampai pada pertanyaan itu.
Pertama, pandangan para pakar dan pengamat dalam menyikapi kasus Bank Century yang kerap tidak memadai. Sering kita lihat bahwa sebagian besar masalah aktual, baik politik dan ekonomi, dicoba dipecahkan berdasarkan common sense dan logika, tapi lemah dasarnya secara empiris. Apa yang kita ketahui sampai sekarang dari kasus Bank Century lebih banyak berupa hasil learning by hearsay, atau omongan a la warung kopi di berbagai arasnya: ada yang mengatakan bocoran informasi tingkat tinggi, gossip pinggir jalan, atau analisis yang lebih spekulatif sifatnya daripada empiris. Kalau kita lihat tanggapan-tanggapan di blog ataupun media lainnya, hal itu semakin nyata. Menanggapi kasus ini, setiap orang mengemukakan analisisnya sendiri-sendiri, yang terlihat canggih, namun tentu saja spekulatif karena dukungan data empiris yang tidak memadai.
Kedua, dalam keterbatasan data empiris, satu fakta yang dapat kita lihat sebenarnya adalah kondisi makroekonomi saat Bank Century diselamatkan. Saat itu, pilihan kebijakan memang sulit. Menutup bank ataupun menyelamatkan, memiliki risiko sendiri-sendiri. Kebijakan yang dipilih otoritas saat itu adalah menyelamatkan Bank Century. Dan itu adalah kebijakan publik yang dilakukan dengan perhitungan untuk menyelamatkan sistem keuangan secara lebih luas.
Pihak otoritas kerap mengatakan bahwa kebijakan penyelamatan dilakukan dengan sebuah good faith atau itikad baik demi kepentingan luas makroekonomi. Tanpa berpikir penyelamatan itu untuk menyelamatkan satu pihak, apalagi menolong pemilik. Kita melihat bahwa pemilik bank Century sendiri justru ditangkap. Namun kita juga paham, niat baik tak cukup. Niat baik hanya tersimpan di dalam hati, sulit untuk dibuktikan. Yang terlihat adalah dampak dari kebijakan tersebut. Dampak kebijakan itu bagi kebanyakan masyarakat lebih penting untuk dilihat.
Kita melihat kondisi sistem keuangan saat ini relatif stabil dan menguat. Kepercayaan yang terjaga mampu menghindari pelelehan lebih dalam dari sistem keuangan kita, dan mampu menghindarkan kita dari krisis lebih lanjut. Kondisi makroekonomi Indonesia satu tahun setelah kebijakan itu diputuskan juga jauh lebih solid dan lebih baik. Sementara itu, kekhawatiran dana yang hilang juga bisa diminimalisir karena Bank Century masih beroperasi, dengan nama baru yaitu Bank Mutiara. Artinya, kemungkinan dana talangan untuk kembali juga ada. Bila operasi Bank Mutiara membaik, maka pendapatannya akan dapat dipakai untuk mengganti dana talangan.
Lantas bagaimana dengan konspirasi? Ke mana dana mengalir? Dan Siapa yang harus dipersalahkan dalam kasus ini? Analisis ini hanya bisa berhenti di tepian saat kebijakan penyelamatan Bank Century dilakukan.
Namun di seberang tepian itu, apakah kemudian ada konspirasi di balik penyelamatan dana talangan, atau apakah ada kepentingan politik dari penggunaan dana talangan, sepenuhnya berada dalam misteri kegelapan yang jauh dari jangkauan empiris saya. Itu menjadi teka teki di balik langit malam yang gelap (riddle of a dark night sky).
Harapan saya adalah mudah-mudahan kasus ini dapat dituntaskan dengan baik dan tidak hanya mengorbankan pihak tertentu yang lemah secara politis, demi sekedar memenuhi kepuasan penonton “opera sabun”, sebagaimana kerap terjadi pada setiap kasus. (Junanto Herdiawan)
Artikel ini ditulis di Kompas.com
(http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/10/22/09140840/ada.konspirasi.di.balik.century)
Dalam film Conspiracy Theory, tokoh Jerry Fletcher yang diperankan oleh Mel Gibson, mengatakan bahwa konspirasi yang baik adalah konspirasi yang tak akan pernah bisa dibuktikan. Pembunuhan JFK atau kasus Watergate, adalah contoh-contoh konspirasi yang sulit dibuktikan. Sampai dengan hari ini, yang muncul adalah berbagai teori maupun spekulasi tentang kejadian itu. Berpuluh buku diterbitkan untuk menganalisis sejarah dan peristiwa kontroversial . Tapi apa yang sebenarnya terjadi, kita tak pernah tahu. Apakah benar ada konspirasi? Kita juga tak pernah tahu.
Di bidang ekonomi politik, kisah-kisah seputar spekulasi konspirasi juga kerap muncul. Ambruknya Lehman Brothers, terungkapnya kasus Madoff, menyisakan berbagai misteri tentang kisah polarisasi ekonomi Yahudi. Di dalam negeri, kasus Bank Bali hingga kasus Bank Century misalnya, adalah berbagai contoh yang mengaitkan bagaimana politik, kekuasaan, dan uang, adalah saudara seiman.
Saudara se-iman lainnya yang kerap ikut dalam kelindan itu adalah “kejahatan”. Mario Puzzo dalam novel Godfather menulis, “Behind every great fortune, there is a crime”. Dengan kata lain, Puzzo ingin mengatakan, “Di balik uang bertriliun Rupiah, ada kejahatan”.
Dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun Rupiah, kekuatan partai dan individu yang mencapai miliaran rupiah, dan mengalirnya dana yang sangat besar, tentu menjadi isu “sexy” yang mengundang tanya. Dari mana dan ke mana dana itu mengalir? Dan apakah dana itu terkait dengan konspirasi?
Pertanyaan itu tentu tak mudah dicari jawabnya. Kitapun kemudian kerap tergiring untuk mendaku fakta spekulatif dalam melakukan tafsir gejala. Akhirnya, tak jarang dari kita yang terjebak ke dalam kusut masai masalah dan keterjebakan epistemik. Sebuah permainan logika yang artinya, kita mengandaikan sesuatu sebagai hal yang nyata. Padahal itu hanyalah asumsi kita akan kenyataan itu. Kita menganggap suatu hal itu terjadi, padahal itu hanya pengandaian kita akan sebuah kejadian.
Isu mengenai konspirasi di balik penyelamatan Bank Century, kalaupun ada, tentu menarik untuk diungkap. Namun dengan berbagai keterbatasan analisis dan data empiris, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dicatat sebelum sampai pada pertanyaan itu.
Pertama, pandangan para pakar dan pengamat dalam menyikapi kasus Bank Century yang kerap tidak memadai. Sering kita lihat bahwa sebagian besar masalah aktual, baik politik dan ekonomi, dicoba dipecahkan berdasarkan common sense dan logika, tapi lemah dasarnya secara empiris. Apa yang kita ketahui sampai sekarang dari kasus Bank Century lebih banyak berupa hasil learning by hearsay, atau omongan a la warung kopi di berbagai arasnya: ada yang mengatakan bocoran informasi tingkat tinggi, gossip pinggir jalan, atau analisis yang lebih spekulatif sifatnya daripada empiris. Kalau kita lihat tanggapan-tanggapan di blog ataupun media lainnya, hal itu semakin nyata. Menanggapi kasus ini, setiap orang mengemukakan analisisnya sendiri-sendiri, yang terlihat canggih, namun tentu saja spekulatif karena dukungan data empiris yang tidak memadai.
Kedua, dalam keterbatasan data empiris, satu fakta yang dapat kita lihat sebenarnya adalah kondisi makroekonomi saat Bank Century diselamatkan. Saat itu, pilihan kebijakan memang sulit. Menutup bank ataupun menyelamatkan, memiliki risiko sendiri-sendiri. Kebijakan yang dipilih otoritas saat itu adalah menyelamatkan Bank Century. Dan itu adalah kebijakan publik yang dilakukan dengan perhitungan untuk menyelamatkan sistem keuangan secara lebih luas.
Pihak otoritas kerap mengatakan bahwa kebijakan penyelamatan dilakukan dengan sebuah good faith atau itikad baik demi kepentingan luas makroekonomi. Tanpa berpikir penyelamatan itu untuk menyelamatkan satu pihak, apalagi menolong pemilik. Kita melihat bahwa pemilik bank Century sendiri justru ditangkap. Namun kita juga paham, niat baik tak cukup. Niat baik hanya tersimpan di dalam hati, sulit untuk dibuktikan. Yang terlihat adalah dampak dari kebijakan tersebut. Dampak kebijakan itu bagi kebanyakan masyarakat lebih penting untuk dilihat.
Kita melihat kondisi sistem keuangan saat ini relatif stabil dan menguat. Kepercayaan yang terjaga mampu menghindari pelelehan lebih dalam dari sistem keuangan kita, dan mampu menghindarkan kita dari krisis lebih lanjut. Kondisi makroekonomi Indonesia satu tahun setelah kebijakan itu diputuskan juga jauh lebih solid dan lebih baik. Sementara itu, kekhawatiran dana yang hilang juga bisa diminimalisir karena Bank Century masih beroperasi, dengan nama baru yaitu Bank Mutiara. Artinya, kemungkinan dana talangan untuk kembali juga ada. Bila operasi Bank Mutiara membaik, maka pendapatannya akan dapat dipakai untuk mengganti dana talangan.
Lantas bagaimana dengan konspirasi? Ke mana dana mengalir? Dan Siapa yang harus dipersalahkan dalam kasus ini? Analisis ini hanya bisa berhenti di tepian saat kebijakan penyelamatan Bank Century dilakukan.
Namun di seberang tepian itu, apakah kemudian ada konspirasi di balik penyelamatan dana talangan, atau apakah ada kepentingan politik dari penggunaan dana talangan, sepenuhnya berada dalam misteri kegelapan yang jauh dari jangkauan empiris saya. Itu menjadi teka teki di balik langit malam yang gelap (riddle of a dark night sky).
Harapan saya adalah mudah-mudahan kasus ini dapat dituntaskan dengan baik dan tidak hanya mengorbankan pihak tertentu yang lemah secara politis, demi sekedar memenuhi kepuasan penonton “opera sabun”, sebagaimana kerap terjadi pada setiap kasus. (Junanto Herdiawan)
Artikel ini ditulis di Kompas.com
(http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/10/22/09140840/ada.konspirasi.di.balik.century)